Begitu banyak kita dapati orang yang di mata kita terlihat kekurangan dan menderita. Namun mereka justru hidup dengan bahagia dan mensyukuri apa yang ada. Sementara tidak jarang pula orang yang hidup dengan harta melimpah tetapi hidupnya tidak nyaman, bahkan ia cenderung merasa ku
rang
atas apa yang ia dapatkan. Ingin lagi dan lagi, namun harta tak mampu
membuatnya bahagia. Jika sudah begini, sebenarnya apa yang bisa membuat
kita bahagia? Bahagia itu letaknya ada di hati dan pada persepsi
menghadapi ujian. Meminjam permisalan yang dipakai Mbah Dipo dalam
sebuah tulisannya, seorang miskin yang tiap hari tinggal digubug reot
dan hidup dengan miskin akan merasa senang, jika ada orang baik yang
menjanjikan bulan depan ia akan diberi pekerjaan dengan gaji 5 juta per
bulan. Jauh sebelum ia menikmati gaji itu pun ia akan bahagia, gubug
reot dan kehidupan miskinnya akan ia lewati dengan bayangan indah
tentang janji yang akan diterimanya bulan depan. Namun coba lihat hidup
seorang yang kaya raya, yang istrinya cantik, mobilnya banyak, uangnya
melimpah, dan rumahnya mewah yang mendapat surat “cinta” dari pengadilan
tentang statusnya sebagai terdakwa. Malam-malamnya ia lewati dengan
perasaan gelisah meski tidur di tilam indah dan empuk bersanding istri
secantik bidadari. Tidak lain karena bulan depan kemungkinan ia akan
menghuni hotel prodeo. Begitulah kebahagiaan seseorang, jika terhadap
janji seorang manusia saja bisa sedemikian senang, maka terhadap janji
Allah yang pasti berupa surga, seharusnya kita bisa melewati hidup ini
dengan manis, bahagia dan penuh kesyukuran serta berbuat yang terbaik
untuk akhirat yang diidamkan: surga. Meskipun di dunia kita merasakan
penderitaan karena istiqamah dalam kebenaran, tetapi dengan mengingat
janji tersebut, kita akan tetap tersenyum melewati hari-demi hari,
karena kita tahu, kelak akan berakhir dengan janji yang pasti. Bahwa
‘kepahitan’ itu hanya sebentar dan akan ditukar dengan kemanisan yang
kekal. Sebagaimana tekad Bilal saat didera siksa di bawah terik matahari
kota Mekah. Ia berucap tabah, “Ahad… Ahad…!” Persepsi memang selalu
bisa memengaruhi, mengubah sesuatu yang jelek menjadi indah, mengubah
yang pahit jadi manis. Karena segelas air putih takkan berubah rasa
menjadi madu, kecuali engkau menuangkan beberapa sendok madu ke
dalamnya. Ia bahkan berasa pahit bila yang kau tuang adalah empedu. Dan
madu itu, boleh jadi ada dalam bentuknya sebagai persepsi maupun
amal-amal yang membahagiakan. Maka sebagaimana segelas air itu,
tuangilah hidupmu dengan madu, dengan amal-amal yang membahagiakan
hidupmu. Jangan kau tuang racun yang merusak amal dan membuat hidup
kelabu. Wallahu a’lam.